Kamis, 02 April 2009

Konstanz, Germany


Ada suatu kota kecil di Jerman yang bernama Konstanz, kotanya kuno, indah dan menyenangkan. Rasanya kalau di Eropah hampir semua kota kecil mempunyai karakteristik seperti ini, bangunannya kuno, terbuat dari batu besar berwarna kelabu, tiangnyan kokoh, begitu juga toko-toko yang ada berupa bangunan kuno yang cantik. Baru kalau kita masuk kedalam toko, maka akan terlihat sesuatu yang modern yang dijual. Hampir 8 hari penuh kami disana bersama dengan rombongan dari Kadin Indonesia, Papua, Aceh. Bali, Kaltim, Kepri dan Sulut. Program ini adalah dalam rangka penguatan organisasi Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) yang pembentukannnya didorong oleh Kadin. BKSP bertugas mendorong pengembangan system sertifikasi profesi oleh dunia industri, sehingga link and match antara keluaran SMK dan Politeknik sejalan dan sesuai dengan kebutuhan dunia industri. BKSP yang telah terbentuk pada waktu itu melakukan studi banding ke Jerman.

Kenapa Jerman? Jerman dengan sistem gandanya sudah berpengalam selama 100 tahun dalam menjalankan “dual system”. Sekolah kejuruan baik tingkat SMK maupun politekniknya, kewenangan untuk sekolah vokasi diberikan kepada Kadin Jerman atau DIHK. Mulai dari pembuatan kurikulum, pengaturan jadwal magang sampai penentuan siapa trainer, assessor yang kebanyakan adalah sukarela dan berasal dari dunia industri. Pemerintah hanya konsentrasi dalam menyediakan fasilitas pembelajaran yang bersifat teori, sedangkan prakteknya dalam bentuk magang diserahkan kepada DIHK. Guru di sekolah mengajarkan tentang teori tapi prakteknya dijalankan oleh para supevisor langsung di industri.

Kota Konstanz di musim gugur sangat dingin untuk ukuran saya, rasanya tersiksa setiap malam harus berjalan kaki selama 10 menit menuju kesebuah restoran modern yang sebenarnya sangat lezat. Karena hampir setiap malam kesana ditengah dinginnya udara dan kadang disertai hujan, jadi rasanya pada malam ke lima sudah mulai tidak lezat lagi.Kalau bisa makan pop mie saja dikamar hotel, dasar perut melayu.Pernah saya harus berjalan sendirian kesana karena beberapa teman sudah berangkat, rasanya seperti di film dracula deh berjalan cepat ditengah rintik hujan, gelap, sepi dan dingin melewati bangunan kuno. Tiba-tiba saya terkaget mendengar suara jam yang besar yang berasal dari gereja tua, persis fil horor. Uh rasanya senang sekali akhirnya sampai dengan selamat.

Konstanz merupakan kota pembuatan sepatu, saya membeli oleh-oleh untuk suami dan anak-anak yang ternyata memang betul buatannya bagus sekali dan awet.. Bedanya dengan sepatu buatan kita adalah kenyamanan dipakainya, mungkin sudah lewat penelitian dan mesin yang lebih canggih.Sepatu buatan kita sudah sama indahnya tapi kadang tidak enak bahkan sakit kalau dipakai berjalan.Di Universitas setempat ada jurusan bahasa Indonesia, kami sempat bertemu dengan salah seorang profesor yang mengajar bahasa Indonesia.Beliau sudah beberapa kali datang dan tinggal di Indonesia dan bahasa Indonesianya sudah sangat bagus, bahkan bisa bahasa Jawa. Enaknya jadi Prof di Jerman, pakaian yang dikenakan casual, jeans dan jaket, naik sepeda pula.

Ada satu istana kecil terletak diatas bukit yang kami kunjungi, wah seperti dalam film zaman dulu, dimana istana dikelilingi tembok tinggi, ada jembatan gantung yang bisa ditarik.Jadi kalau musuh datang pintu ditutup dengan ditarik dan musuh tidak masuk sebab dihalangi oleh sungai dalam dan juga panah-panah yang akan ditembakan dari atas istana. Banyak para bangsawan pemilik istana yang sudah tidak sanggup mengurus istananya, maka mereka membuka istananya untuk umum dimana pemerintah membantu biaya perawatan dan juga hasil dari pengunjung yang datang dan penjualan cindera mata.

Konstanz juga ada danaunya, keindahan danau tetap terasa walau pepohonan gundul tidak berdaun dan sedikit bebek, burung dan angsa yang berkeliaran diatas danau. Walau dingin ada juga beberapa orang yang tahan memancing dipinggir danau. Konstanz seperti layaknya kota kecil menyimpan keramahan dan keterbukaan penduduknya. Pemilik hotel adalah dua nenek tua yang masih gesit melayani tamu.Mereka berdua bahu membahu menyiapkan makan pagi, meladeni tamu dan juga membersihkan kamar.Hotel kecil itu mempunyai sekitar 20 kamar, terletak dipinggir jalan. Lucunya hotel itu kaya asrama saja sebab sesudah jam 10 malam dikunci akses masuk kedalam hotel dan juga keluar. Hidup di Eropah dengan tenaga kerja yang minim memang segala sesuatunya harus dilakukan secara mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar