Minggu, 01 Maret 2009

New York


Tahun 1988 saya mendapat kesempatan mengikuti program pekerja sosial yang diselenggarakan oleh CIP (Council of International Program) yang berkantor pusat di OHIO. Saya ditempatkan di Morgantown kota kecil di West Virginia. Dari Jakarta ke Los Angeles saya belum mengalami gegar budaya, sebab dijemput oleh Yudi adiknya Dewi , tetangga saya dan menginap dirumahnya.Waktu itu komunikasi belum secanggih sekarang.Komunikasi masih dilakukan melalui surat menyurat, nelum ada email bahkan mesin fax masih jarang. Oleh karena itu saya kedinginan begitu tiba disana, karena tidak menyangka udaranya begitu dingin. Dikatakan musim semi tapi untuk saya udaranya dingin bukan sejuk.

Gegar budaya baru saya alami setelah dari Los Angeles menuju Newark yang ternyata masih jauh dari New York, naik taksi sekitar 40 menit dengan biaya sekitar $ 40. Turun dari airport mengurus barang sendiri dan berhadapan dengan orang hitam yang bergantian menawarkan membawakan tas saya. Baru sekali saya keluar negeri dan langsung jauh sekali ke Amerika, rasanya saya menjadi demikian kecil dibandingkan para porter yang hitam dan tinggi besar. Di Bandara tersedia meja administrasi untuk membantu peserta yang datang dari seluruh dunia, dan kami bersamaan naik van ke hotel.

Setelah mandi hari masih sore sehingga saya masih ada waktu jalan-jalan disekitar hotel, saya mengambil gambar di Empire State Building dan kagum dengan kuda yang sangat besar, gagah dan cantik yang menarik kereta kuda. Banyak turis dan pasangan yang sedang kasmaran menaiki kereta kuda berkeliling New York. Saya dengan pengetahuan, bahasa dan uang yang minim rasanya sayang sekali harus membayar mahal untuk sekedar naik bendi Amerika. Disepanjang jalan dan stasion kereta banyak orang hitam yang menggelandang, rasanya kasian melihat mereka dipinggir jalan harus menyelimuti dirinya dengan selimut berlapis untuk menahan dingin. Gelandangan Indonesia masih bisa tertawa-tawa bertelanjang dada untuk mengusir gerahnya udara Jakarta.Orang New York stylish dan keren, mereka berjalan cepat seakan dunia mau runtuh. Gaya berjalannya anggun, sombong, dengan balutan mantel musim dingin berwarna hitam, broken white atau coklat dengan sepatu boot dan sarung tangan. Wah rasanya saya jadi ga keren nih, dengan baju dingin seadanya dan sama sekali jauh dari kesan mewah. Untuk makan malam saya mampir ke resto cepat saji yang menyediakan sandwich yang panjang sekali, sekitar 1 m, yang akan dipotong untuk ukuran sekali makan.

Keesokan harinya kami diterima secara resmi di gedung PBB dan mendengarkan arahan dari direktur programnya. Acara dilanjutkan dengan foto bersama didalam dan diluar gedung, saya dengan pakaian nasional baju bodo cukup menggigil kedinginan pada saat diluar.Banyak peserta dari negara lain senang dan mengagumi baju Bodo dengan mahkotanya ditambah dengan sarung songket Palembang yang saya kenakan. Ditengah dinginnya New York saya masih harus sabar meladeni mereka yang mau berfoto dengan saya.

Keesokan harinya bersama dengan peserta lain yang ditempatkan di Morgantown kami melanjutkan perjalan dengan naik mobil combi. Rich sebagai koordinator program yang menyetir, kami ada ber sembilan (dari Belanda, Jerman, Italy, Finlandia, China, Indonesia, Columbia, Perancis dan negara kecil di Afrika saya lupa nama negaranya) meghadapi program ini untuk bersama dalam suka dan duka selama 5 bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar