Senin, 30 Maret 2009

Amsterdam


Saya bersama teman dari Vietnam dan Philipina jalan-jalan ke Amsterdam pada hari libur kami Sabtu dan Minggu ditahun 2000 pada saat mengikuti pelatihan di Manheim Jerman. Kalau kita beli karcis kereta api sendiri harganya misalnya Rp 100.000/orang, kalau pergi berdua menjadi Rp 80.000/orang, kalau bertiga menjadi Rp 70.000/orang dan kalau berempat menjadi sekitar Rp 60.000/orang. Kalau kita pergi berlima maka harga karcis yang kelima sama dengan kalau kita pergi sendiri. Pengaturan harga ini sangat membantu bagi pelancong dari Asia yang uang sakunya kalau di kurs ke Euro jadi miskin banget.Seingat saya tahun 2000 Jerman masih menggunakan mata uangnya sendiri belum Euro.

Kami naik kereta malam yang sampai Amsterdam pagi hari. Di stasiun dijemput oleh teman saya Henk van Santen yang merupakan salah satu ahli uang palsu di ABN AMRO Belanda. Saat itu saya adalah training manajer ABN AMRO Bank Jakarta, sehingga dua kali Henk pernah mengajar di Jakarta, Bali, Medan dan Surabaya bersama saya. Udara Amsterdam dingin dan mendung, kadang disertai hujan kecil yang datang tiba-tiba. Saya selalu salah naik mobil, selalu mau duduk disebelah kiri depan, padahal itu adalah untuk sopir di Eropah.

Hari masih pagi dan kami ditraktir makan pagi oleh Henk di sebuah cafe, hemm sungguh lezat roti bakar, telur orak arik dan susu coklat. Henk yang membayar semua makan pagi kami, padahal katanya orang Belanda pelit, makanya ada pepatah ”go by Dutch” atau apa gitu yang artinya bayar sendiri-sendiri. Oleh Henk kami dibawa berjalan-jalan melewati area lampu merah disekitar stasiun kereta api.Pelacuran dan obat bius adalah hal yang legal di Belanda.Jadi kami terkagum-kagum dengan pajangan para perempuan berbagai jenis kulitnya yang mejeng nyaris telanjang didepan kaca etalase. Mereka profesional ya, sebab dalam udara dingin tetap berpakaian minim, tapi saya ga tau juga apakah udara didalam hangat. Beberapa kali jika saya terpisah jauh dari Henk kami didekati oleh orang yang menawarkan obat bius, kalau dekat Henk mereka tidak berani sebab penampilan Henk yang tinggi besar hampir 2 m cukup menakutkan apalagi dia bekas polisi.

Kami naik kapal air mengelilingi Amsterdam, lagi-lagi Henk yang bayar buat kami bertiga, mungkin dia mengerti bahwa sebagai turis backpacker kami perlu dibantu, atau Henk ingin balas kebaikan juga sebab selama di Indonesia saya selalu menemani dengan baik. Mengagumkan bagaimana Belanda yang daratannya berada dibawah permukaan laut dapat bertahan beratus tahun tanpa kebanjiran. Kanal-kanal air dulu juga dibangun Belanda di Batavia, tapi karena kita tidak mengurus dengan baik ya hasilnya Jakarta terendam banjir tiap tahun.Kalau lagi jalan-jalan hujan datang tiba-tiba, maka kami orang Asia cepat-cepat memakai payung atau berteduh menutup kepala, tapi orang Belanda cuek saja. Saya tanya apa ga takut flu atau pusing, sebab kami dari kecil tertanam diotak bahwa jangan main hujan nanti pusing atau flu. Henk tertawa sebab di Belanda orangtua tidak pernah mengajarkan hal itu kepada anaknya, jadi kalau kehujanan ya ga akan pusing atau flu. Rupanya kebiasaan dan asumsi yang tertanam dari kecil yang membuat kita takut sama hujan.

Tahun 2000 di Amsterdam ada piala Euro, suasananya hiruk pikuk dengan para supporter yang memakai baju kesebelasan kesayangannya.Dimana-mana dijual kaos dan cindera mata yang berbau bola.Titipan anak saya kaos akhirnya dapat saya belikan setelah berputar-putra cari harga yang dapat terjangkau. Henk mengantar saya ke stadion bola terbesar yang berada diatas jalan raya, jadi stadion itu diatas dan mobil dapat lewat dibawahnya.

Karena siang Henk ada acara, maka saya dijemput lagi oleh Ben van Rooij, teman saya professor yang tahun 1988 bersama selama 5 bulan di Amerika Serikat mengikuti suatu pelatihan. Serah terima terjadi dari Henk ke Ben, ha ha lucu juga dan bersyukur punya teman yang baik dimanapun berada. Ben sudah berusia 62 tahun pada tahun 2000, saya kehilangan kontak kembali dengan dia, semoga Ben masih diberi umur panjang. Kami diajak jalan ke museum menikmati kebesaran Belanda dari abad ke abad, enaknya berada dalam musium yang hangat dan juga penuh dengan kenangan lama. Dekat museum ada perumahan yang jumlahnya sekitar 30 apartemen lama, tapi cantik penuh hiasan bunga dan ditengahnya ada taman dan pohon besar yang hening. Kata Ben tempat ini sangat tenang dan menyenangkan. Teman dari Philipina mau pergi ke gereja, maka kami semua menemani masuk gereja yang juga sangat besar, indah dan megah. Kalau harus masuk gereja sendiri walaupun siang hari rasanya seram juga, sebab suasananya hening, dingin dan seakan ada yang memperhatikan kita.


Tibalah waktu berpisah, sebab kami harus mengejar kereta malam yang akan membawa kami kembali ke Manheim. Jam 8 malam karena akhir musim semi, langit masih terlihat cerah, saya harus berpisah dengan Ben setelah hampir 12 tahun tidak bertemu. Katanya Ben pernah ke Bali dan ke Jakarta tapi tidak dapat menghubungi saya. Istri Ben yang pertama orang Suriname sudah meninggal, saya sempat berkenalan dengan anaknya yang perempuan sangat cantik, perpaduan Suriname dan Belanda. Teman wanitanya yang sekarang juga orang Suriname tapi tinggal di Suriname, jadi Ben sering berkunjung kesana.okay Ben sampai ketemu, semoga kita diberi umur panjang untuk bertemu lagi. Ik lieve je (mudah-mudahan tidak salah nih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar