Senin, 30 Maret 2009

Udine, Italy



Dalam pelatihan yang saya ikuti di Manheim Jerman, setiap Sabtu dan Minggu saya mendapatkan hari libur.Kesempatan ini saya gunakan untuk mengunjungi sahabat saya Paola di Udine, Italy. Karena Udine jauh sekali dari Manheim dan kota kecil serta tujuan saya sangat spesifik bertemu Paola, maka teman saya yang lain tidak mau ikut, mereka memilih jalan2 ke Paris. Tiket kereta api mahal sekali pada waktu itu, kalau di kurs sekitar 2 juta rupiah PP.Demi teman yang sudah 12 tahun tidak bertemu saya memilih tetap ke Udine. Saya dan Paola bersama mengikuti pelatihan selama 5 bulan di Morgantown West Virginia Amerika Serikat pada tahun 1988. Paola pada saat itu adalah seorang pekerja sosial disuatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengurus masalah perempuan.

Jam 6 sore saya bergegas naik kereta api dari Manheim ke Udine, cuaca dingin sekali sekitar 7 derajat. Perjalanan malam kurang berkesan karena saya harus berganti kereta api 3 kali dan harus membangunkan para bule yang tidur menempati kursi. Sebagai orang Timur mungkin kita terlalu sopan dalam menbangunkan tapi kalau sesama bule mereka dengan tegas meminta agar yang tidur segera mengambil posisi duduk. Pemeriksaan pasport berlangsung di perbatasan Swiss kalau tidak salah dan waktu masuk ke wilayah Italy.Ada kondektur yang pernah ke Bali sehingga waktu dia memeriksa pasport kami sempat mengobrol.

jam 5 shubuh saya sudah sampai di stasiun kereta api Udine, kecil dan sepi karena masih pagi. Paola belum menjemput sehingga ditengah dinginnya udara saya bersama turis backpacker lainnya tiduran di bangku stasiun menunggu pagi. Jam 6 pagi saya dijemput Paola yang sudah berubah banyak terlihat lebih tua dibandingkan saya yang katanya tidak berubah sejak 12 tahun yang lalu. Kami menuju apartemennya yang mempunyai kamar 2 dengan ruang keluarga yang cukup luas. Paola sangat rapi dan menata rumahnya dengan indah dan bersih. Seperti layaknya dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu kami mengobrol tentang masa di Amerika, dan saya juga cerita bertemu dengan Wolfgang di Hannover.Paola mempunyai 2 anak laki-laki seperti saya dan sekarang mereka semua berada dirumah neneknya di tepi pantai.Walau di Jerman udara cukup dingin tapi di Udine orang sudah mulai menikmati cuaca yang cukup hangat dan berjemur si pantai.

Sepanjang jalan menuju rumah pantai Paola menperdengarkan remakan kaset pada saat saya menyampaikan suatu presentasi.Sungguh menakjubkan mendengar kefasihan saya berbahasa Inggris sangat hebat. Kami tertawa terbahak-bahak sebab sekarang kemampuan itu sudah berkurang, apalagi Paola dengan aksen Italynya yang kental.Paola dan keluarga besarnya berada dirumah pantai, saya dikenalkan dengan orang tuanya, kakaknya dan anaknya yang ganteng-ganteng. Pasangan hidup Paola saya lupa namanya sebab mereka tidak menikah dan Paola enggan menyebutkan dia adalah suaminya.

Orang Italy hangat dan bersahabat, mereka masih memukul pantat anaknya jika menegur dan berbicara rame seperti orang Batak kedengarannya. Jika orang bule suka berjemur maka saya sedapat mungkin memakai topi dan payung pada saat jalan kepantai. Kami berjalan-jalan mengitari kota pantai di Udine dan makan ice cream Italy yang terkenal lezat dan membeli sepatu buatan Italy. Saya mampir ke supermarket membeli beberapa macam pasta dan saus2 khas Italy untuk oleh-oleh. Malamnya bersama seluruh keluarganya kami makan pizza yang sangat lezat dan berbeda dengan pizza di Indonesia. Kulit pizza tipis dan renyah serta paduan bumbu bawang putih dan tomat yang segar dan pas. Karena besar sekali, maka pizza bayam yang saya pesan tidak habis dan saya bungkus buat besok dimakan di jalan.Keluarga Paola menyukai oleh-oleh yang saya bawakan, ibunya langsung memakai daster batik pada waktu kami makan malam.
Sepanjang malam kami mengobrol segala macam dan baru tidur jam 2 pagi. Saya tinggalkan beberapa baju Bali karena Paola menyukainya dan saya diberi sepatu kulit Italy yang sebenarnya mirip dengan sepatu kulit buatan jogya.

Pagi harinya jam 6 saya harus kembali ke Jerman, di stasiun kami bertangisan sebab begitu cepat waktu berlalu dan masih banyak cerita yang masih ingin kami tukar. Paola pernah ke Bali dan mampir sebentar di cengkareng untuk transit.Sayang pada saat itu saya tidak bisa bertemu dan hanya dapat menitipkan oleh-oleh melalui teman saya yang bekerja di bandara.Ciao Paola till we meet again

Amsterdam


Saya bersama teman dari Vietnam dan Philipina jalan-jalan ke Amsterdam pada hari libur kami Sabtu dan Minggu ditahun 2000 pada saat mengikuti pelatihan di Manheim Jerman. Kalau kita beli karcis kereta api sendiri harganya misalnya Rp 100.000/orang, kalau pergi berdua menjadi Rp 80.000/orang, kalau bertiga menjadi Rp 70.000/orang dan kalau berempat menjadi sekitar Rp 60.000/orang. Kalau kita pergi berlima maka harga karcis yang kelima sama dengan kalau kita pergi sendiri. Pengaturan harga ini sangat membantu bagi pelancong dari Asia yang uang sakunya kalau di kurs ke Euro jadi miskin banget.Seingat saya tahun 2000 Jerman masih menggunakan mata uangnya sendiri belum Euro.

Kami naik kereta malam yang sampai Amsterdam pagi hari. Di stasiun dijemput oleh teman saya Henk van Santen yang merupakan salah satu ahli uang palsu di ABN AMRO Belanda. Saat itu saya adalah training manajer ABN AMRO Bank Jakarta, sehingga dua kali Henk pernah mengajar di Jakarta, Bali, Medan dan Surabaya bersama saya. Udara Amsterdam dingin dan mendung, kadang disertai hujan kecil yang datang tiba-tiba. Saya selalu salah naik mobil, selalu mau duduk disebelah kiri depan, padahal itu adalah untuk sopir di Eropah.

Hari masih pagi dan kami ditraktir makan pagi oleh Henk di sebuah cafe, hemm sungguh lezat roti bakar, telur orak arik dan susu coklat. Henk yang membayar semua makan pagi kami, padahal katanya orang Belanda pelit, makanya ada pepatah ”go by Dutch” atau apa gitu yang artinya bayar sendiri-sendiri. Oleh Henk kami dibawa berjalan-jalan melewati area lampu merah disekitar stasiun kereta api.Pelacuran dan obat bius adalah hal yang legal di Belanda.Jadi kami terkagum-kagum dengan pajangan para perempuan berbagai jenis kulitnya yang mejeng nyaris telanjang didepan kaca etalase. Mereka profesional ya, sebab dalam udara dingin tetap berpakaian minim, tapi saya ga tau juga apakah udara didalam hangat. Beberapa kali jika saya terpisah jauh dari Henk kami didekati oleh orang yang menawarkan obat bius, kalau dekat Henk mereka tidak berani sebab penampilan Henk yang tinggi besar hampir 2 m cukup menakutkan apalagi dia bekas polisi.

Kami naik kapal air mengelilingi Amsterdam, lagi-lagi Henk yang bayar buat kami bertiga, mungkin dia mengerti bahwa sebagai turis backpacker kami perlu dibantu, atau Henk ingin balas kebaikan juga sebab selama di Indonesia saya selalu menemani dengan baik. Mengagumkan bagaimana Belanda yang daratannya berada dibawah permukaan laut dapat bertahan beratus tahun tanpa kebanjiran. Kanal-kanal air dulu juga dibangun Belanda di Batavia, tapi karena kita tidak mengurus dengan baik ya hasilnya Jakarta terendam banjir tiap tahun.Kalau lagi jalan-jalan hujan datang tiba-tiba, maka kami orang Asia cepat-cepat memakai payung atau berteduh menutup kepala, tapi orang Belanda cuek saja. Saya tanya apa ga takut flu atau pusing, sebab kami dari kecil tertanam diotak bahwa jangan main hujan nanti pusing atau flu. Henk tertawa sebab di Belanda orangtua tidak pernah mengajarkan hal itu kepada anaknya, jadi kalau kehujanan ya ga akan pusing atau flu. Rupanya kebiasaan dan asumsi yang tertanam dari kecil yang membuat kita takut sama hujan.

Tahun 2000 di Amsterdam ada piala Euro, suasananya hiruk pikuk dengan para supporter yang memakai baju kesebelasan kesayangannya.Dimana-mana dijual kaos dan cindera mata yang berbau bola.Titipan anak saya kaos akhirnya dapat saya belikan setelah berputar-putra cari harga yang dapat terjangkau. Henk mengantar saya ke stadion bola terbesar yang berada diatas jalan raya, jadi stadion itu diatas dan mobil dapat lewat dibawahnya.

Karena siang Henk ada acara, maka saya dijemput lagi oleh Ben van Rooij, teman saya professor yang tahun 1988 bersama selama 5 bulan di Amerika Serikat mengikuti suatu pelatihan. Serah terima terjadi dari Henk ke Ben, ha ha lucu juga dan bersyukur punya teman yang baik dimanapun berada. Ben sudah berusia 62 tahun pada tahun 2000, saya kehilangan kontak kembali dengan dia, semoga Ben masih diberi umur panjang. Kami diajak jalan ke museum menikmati kebesaran Belanda dari abad ke abad, enaknya berada dalam musium yang hangat dan juga penuh dengan kenangan lama. Dekat museum ada perumahan yang jumlahnya sekitar 30 apartemen lama, tapi cantik penuh hiasan bunga dan ditengahnya ada taman dan pohon besar yang hening. Kata Ben tempat ini sangat tenang dan menyenangkan. Teman dari Philipina mau pergi ke gereja, maka kami semua menemani masuk gereja yang juga sangat besar, indah dan megah. Kalau harus masuk gereja sendiri walaupun siang hari rasanya seram juga, sebab suasananya hening, dingin dan seakan ada yang memperhatikan kita.


Tibalah waktu berpisah, sebab kami harus mengejar kereta malam yang akan membawa kami kembali ke Manheim. Jam 8 malam karena akhir musim semi, langit masih terlihat cerah, saya harus berpisah dengan Ben setelah hampir 12 tahun tidak bertemu. Katanya Ben pernah ke Bali dan ke Jakarta tapi tidak dapat menghubungi saya. Istri Ben yang pertama orang Suriname sudah meninggal, saya sempat berkenalan dengan anaknya yang perempuan sangat cantik, perpaduan Suriname dan Belanda. Teman wanitanya yang sekarang juga orang Suriname tapi tinggal di Suriname, jadi Ben sering berkunjung kesana.okay Ben sampai ketemu, semoga kita diberi umur panjang untuk bertemu lagi. Ik lieve je (mudah-mudahan tidak salah nih)

Hannover, Jerman


Tahun 2000 saya mengikuti program di Jerman untuk pelatihan buat perempuan yang berkaitan dengan pilihan karir pekerjaannya. Ada satu hari dimana kita diajak ke Hanovver suatu kota yang waktu itu sedang diadakan expo tentang keadaan seluruh negara di dunia. Kota Hannover sendiri modern dan bersih, suasana Expo begitu bagus dan tertata dengan rapi.Stand Indonesia dengan andalannya Bali menempati pavilun yang sangat luas. Saya juga mampir ke stand Yaman tempat salah seorang peserta pelatihan dan mencoba menghisap shisa disana.

Karena mempunyai cukup banyak waktu, maka saya janjian dengan sahabat lama saya Wolgang Just untuk mampir kerumahnya. Wolfgang dan saya menjadi peserta pelatihan di Amerika Serikat pada tahun 1988 di Morgantown West Virginia selama 5 bulan. Kami sudah seperti keluarga karena mengikuti pelatihan dalam jangka waktu yang cukup lama. Saya dijemput ditempat expo dan ketika bertemu Wolfgang tidak banyak berubah tetap awet muda.

Kami menuju rumahnya yang cukup besar dan asri dengan 3 kamar tidur, ruang kerja dan terdiri atas 2 lantai.Istrinya bernama Ula, dan karena mereka tidak punya anak, mereka mengangkat seorang anak perempuan yang sangat manis berambut panjang. Anak tersebut diambil sebab kedua orang tuanya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak bisa mengurus anaknya. Orang barat sangat rasional dan sosial, mereka dalam mengangkat anak betul betul hanya mau menolong, mungkin kalau kita agak ragu jika mengetahui sejarah orang tuanya yang sakit jiwa. kami mengobrol sambil minum teh didapur rumah dan Wolfgang bercerita kalau Sue teman kami di Morgantown pernah menginap juga di rumahnya.

Saya diajak Wolfgang dan putrinya berjalan2 melihat kota Hannover dan sempat berfoto disebuah kastil dan taman bunga yang sangat rapi dan indah.Saya dan putri Wolfgang memakai rok Bali dengan warna senada ungu, oleh2 yang saya bawa langsung dipakai.
Setelah selesai saya diantar kembali ke tempat Expo, senang rasanya bertemu teman lama yang sudah 12 tahun tidak bertemu. Sahabat dimanapun dan apapun warna kulitnya tetap namanya sahabat.

Minggu, 01 Maret 2009

New York


Tahun 1988 saya mendapat kesempatan mengikuti program pekerja sosial yang diselenggarakan oleh CIP (Council of International Program) yang berkantor pusat di OHIO. Saya ditempatkan di Morgantown kota kecil di West Virginia. Dari Jakarta ke Los Angeles saya belum mengalami gegar budaya, sebab dijemput oleh Yudi adiknya Dewi , tetangga saya dan menginap dirumahnya.Waktu itu komunikasi belum secanggih sekarang.Komunikasi masih dilakukan melalui surat menyurat, nelum ada email bahkan mesin fax masih jarang. Oleh karena itu saya kedinginan begitu tiba disana, karena tidak menyangka udaranya begitu dingin. Dikatakan musim semi tapi untuk saya udaranya dingin bukan sejuk.

Gegar budaya baru saya alami setelah dari Los Angeles menuju Newark yang ternyata masih jauh dari New York, naik taksi sekitar 40 menit dengan biaya sekitar $ 40. Turun dari airport mengurus barang sendiri dan berhadapan dengan orang hitam yang bergantian menawarkan membawakan tas saya. Baru sekali saya keluar negeri dan langsung jauh sekali ke Amerika, rasanya saya menjadi demikian kecil dibandingkan para porter yang hitam dan tinggi besar. Di Bandara tersedia meja administrasi untuk membantu peserta yang datang dari seluruh dunia, dan kami bersamaan naik van ke hotel.

Setelah mandi hari masih sore sehingga saya masih ada waktu jalan-jalan disekitar hotel, saya mengambil gambar di Empire State Building dan kagum dengan kuda yang sangat besar, gagah dan cantik yang menarik kereta kuda. Banyak turis dan pasangan yang sedang kasmaran menaiki kereta kuda berkeliling New York. Saya dengan pengetahuan, bahasa dan uang yang minim rasanya sayang sekali harus membayar mahal untuk sekedar naik bendi Amerika. Disepanjang jalan dan stasion kereta banyak orang hitam yang menggelandang, rasanya kasian melihat mereka dipinggir jalan harus menyelimuti dirinya dengan selimut berlapis untuk menahan dingin. Gelandangan Indonesia masih bisa tertawa-tawa bertelanjang dada untuk mengusir gerahnya udara Jakarta.Orang New York stylish dan keren, mereka berjalan cepat seakan dunia mau runtuh. Gaya berjalannya anggun, sombong, dengan balutan mantel musim dingin berwarna hitam, broken white atau coklat dengan sepatu boot dan sarung tangan. Wah rasanya saya jadi ga keren nih, dengan baju dingin seadanya dan sama sekali jauh dari kesan mewah. Untuk makan malam saya mampir ke resto cepat saji yang menyediakan sandwich yang panjang sekali, sekitar 1 m, yang akan dipotong untuk ukuran sekali makan.

Keesokan harinya kami diterima secara resmi di gedung PBB dan mendengarkan arahan dari direktur programnya. Acara dilanjutkan dengan foto bersama didalam dan diluar gedung, saya dengan pakaian nasional baju bodo cukup menggigil kedinginan pada saat diluar.Banyak peserta dari negara lain senang dan mengagumi baju Bodo dengan mahkotanya ditambah dengan sarung songket Palembang yang saya kenakan. Ditengah dinginnya New York saya masih harus sabar meladeni mereka yang mau berfoto dengan saya.

Keesokan harinya bersama dengan peserta lain yang ditempatkan di Morgantown kami melanjutkan perjalan dengan naik mobil combi. Rich sebagai koordinator program yang menyetir, kami ada ber sembilan (dari Belanda, Jerman, Italy, Finlandia, China, Indonesia, Columbia, Perancis dan negara kecil di Afrika saya lupa nama negaranya) meghadapi program ini untuk bersama dalam suka dan duka selama 5 bulan.